Wow, Capres Butuh Dana 3 Triliun!
Seorang yang mencalonkan diri atau dicalonkan akan membutuhkan dana Rp 3.000.000.000.000,00 kata seorang pengurus partai di sela-sela sebuah diskusi bertajuk “Mahalnya Ongkos Nyapres” di Jakarta, Sabtu, 25/1/2014. Katakanlah angka 3 triliun ini benar, maka beberapa hal berikut ini akan terjadi.
Dari aspek finansial seperti itu saja, orang yang mencalonkan diri menjadi capres adalah orang yang luar biasa. Orang yang pikirannya biasa-biasa saja tidak mungkin akan mencapres. Lalu motif apa yang mendorong orang mau mencapres?
Kalau kita raba-raba (widihh) orang mau jadi capres dengan uang sendiri kira-kira ia memiliki motif: ingin memajukan bangsa dan negara (motif moral), atau ingin meraih kekuasaan yang sangat tinggi (motif kekuasaan), atau ingin menambah kekayaan sebesar-besarnya (motif ekonomi), atau ingin mendapatkan ketenaran yang seluas-luasnya. Barangkali masih banyak motif lain. Ini sekadar menyederhanakan saja.
Bukankah ada jutaan orang yang memiliki motif yang sama dan tidak harus menjadi Presiden? Ya, benar. Hanya saja, Presiden adalah jabatan yang tertinggi yang dapat mewujudkan motif-motif itu dalam tataran negara.
Capres biaya sendiri dan biaya pihak lain
Oleh sebab itu, orang yang mencapres disebut orang yang luar biasa. Orang-orang ini melihat pada diri sendiri kemampuan finansial yang dimilikinya dikombinasikan dengan obsesi yang kuat pada dirinya. Mereka juga memiliki rasa percaya diri yang sangat besar terhadap kemampuannya untuk memimpin negara. Maka, jadilah mereka mencapreskan diri.
Capres dengan biaya sendiri ini akan lebih mudah mewujudkan motifnya melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya kelak bila ia terpilih. Presiden dengan modal sendiri akan telihat sangat kuat posisinya. Langkah-langkah politiknya lebih transparan dan lebih mudah dimengerti oleh rakyat daripada capres dengan biaya pihak lain.
Selain ada orang yang mencapreskan diri (tentu saja harus diusung oleh partai), ada pula orang yang dicapreskan oleh pihak lain, misalnya partai yang meminta kepada seseorang untuk dicapreskan.
Dari segi ongkos, orang seperti ini tentu lebih enak. Apalagi jika ia tidak terlalu ambisius. Partai yang mengusungnya bertanggung jawab terhadap dana yang dibutuhkan. Orang ini tidak perlu mempunyai dana triliunan. Biarkan partai yang mengurusnya.
Namun, partai pengusung sama halnya dengan orang yang mencapreskan diri. Partai memiliki motif tertentu kenapa ia mengusung seseorang untuk menjadi capres. Motif capres dan motif partai bisa saja berbeda. Masalah akan timbul bila motif capres adalah motif moral dan motif partai adalah motif kekuasaan atau motif ekonomi.
Jika capres tersebut terpilih, maka tidak serta-merta Presiden terpilih itu dapat mewujudkan motif pribadinya karena “tidak ada makan siang yang gratis.” Partai pengusung akan mendiktekan program-programnya agar diwujudkan oleh Presiden. Mungkin sang Presiden dapat mencuri-curi peluang untuk menyelipkan misi pribadinya sesuai motifnya untuk meningkatkah kehidupan bangsanya. Namun, itu hanya bisa berlangsung sejauh tidak bertentangan dengan garis kebijakan partai.
Adakah sumber dana tunggal untuk capres?
Rasa-rasanya mustahil ada capres yang mendanai pencapresannya sendirian. Demikian pula mustahil ada partai yang mau mengeluarkan dana sebesar itu seluruhnya dari kas partainya saja.
Memang ada sekitar 50 orang Indonesia dengan kekayaan lebih dari Rp 3 triliun. Peringkat 50 orang terkaya Indonesia memiliki US$ 390 juta, yaitu Sutjipto Nagaria (Tribunnews.com, 22/112013).
Dari daftar orang terkaya itu hanya ada satu orang yang memiliki kekayaan di atas Rp triliun yang ikut dalam bursa capres, yaitu HT dengan kekayaan US$ 1,35 miliar. Itu pun cuma mencalonkan diri sebagai calon wakil Presiden. Sedangkan ARB yang masuk 50 besar daftar orang terkaya pada 2013 namanya terlempar dari daftar itu. Namun banyak orang percaya bahwa uangnya masih di atas Rp 3 triliun.
50 orang superkaya Indonesia itu semuanya adalah pengusaha. Karakter pengusaha adalah selalu memutar sebagian besar uangnya yang banyak itu untuk ditanamkan kembali sebagai modal usaha. Sehingga, apabila mereka mencapres maka kemungkinan tidak mau “membuang dana” sampai sebesar itu. Kecuali, mereka “orang gokil.”
Ada hal yang lucu terjadi menyangkut pencapresan seseorang oleh partai. Partai yang mencapreskan atas kehendak partai itu sendiri mestinya juga bertanggung jawab terhadap biaya yang dibutuhkan sang capresnya. Namun, kalau kita melihat daftar kekayaan seluruh partai peserta pemilu, maka tidak ada satu pun partai yang mampu membiayai pencapresan hanya dengan uang kas partainya semata.
Sebagai gambaran, periksa Tabel Daftar Kekayaan Partai pada 2011 sebagai berikut:
Sumber: http://sharethere.blogspot.com/2011/06/daftar-kekayaan-partai-politik-di.html
Dari tabel di atas, tidak ada satu pun partai yang ada di tabel tersebut mampu membiayai capresnya dengan uang kas partainya. Partai Gerindra yang memiliki dana terbesar pun hanya memiliki kekayaan Rp 15 miliar lebih. Partai yang tidak ada di tabel itu tetapi merupakan peserta pemilu, seperti Partai Golkar, Partai Nasdem, PKPI, PPP, dan PBB tidak diketahui datanya. Namun diperkirakan mereka juga tidak akan mampu membiayai capresnya sendirian.
Dana capres yang ditanggung perseorangan sulit terjadi dan dana dari partai semata pun sulit. Sehingga, capres dalam pemilu 2014 ini diperkirakan ditanggung renteng oleh berbagai pihak. Setiap capres akan didanai secara urunan.
Masalahnya adalah siapa saja yang akan membiayai seorang capres. Apa motif dari pihak-pihak penyandang dana itu. Apakah bermotif moral, kekuasaan, ekonomi, atau apa? Lalu setelah sang capres terpilih secara definitif sebagai Presiden, bagaimana watak pemerintahannya? Apakah ia begitu saja akan melupakan para penyandang dananya? Apakah motif moral akan terwujud dalam bentuk kebijakan-kebijakannya?
Mumet bukan? Sama! Saya juga.
sumber : http://polhukam.kompasiana.com/
0 komentar:
Posting Komentar